Lima menit berlalu dalam kesunyian. Tiba-tiba api lilin bergerak-gerak meski tak ada angin yang berhembus.
“Mundur, Man!” bisik Nick. “Dia datang ...”
Rumah tua yang nyaris runtuh itu masih menyisakan
keindahannya di masa lalu. Sebuah bangunan yang pasti cukup mencolok di masa itu. Cukup mewah, karena pemiliknya adalah seorang selebritis. Banyak cerita yang beredar tentang rumah ini dan penghuninya.
Banyak cerita tentang kehidupan Rima Berlian, artis cantik yang pada tahun delapan puluhan cukup terkenal karena membintangi puluhan film layar lebar. Tentang tahun-tahun yang terlalu singkat, bagi karir dan popularitasnya sebagai seorang bintang film. Dan sebuah akhir yang tragis. Ketika dunia perfilman Indonesia ambruk, karirnya pun berakhir. Artis cantik yang masih hidup melajang itu mengalami depresi berat. Orang bilang ia mengalami apa yang disebut sebagai post power sindrome. Ia mengakhiri hidupnya di usia tiga puluh tahun dengan cara menggantung diri di kamarnya.
Rumah itu sudah beberapa kali berpindah tangan
kepemilikannya. Tak kurang dari lima kali, sampai
akhirnya dibiarkan terbengkalai, tak dihuni dan
akhirnya nyaris runtuh seperti saat ini. Rumah itu berhantu. Hantu Rima Berlian yang mati secara tak wajar. Hantu yang selalu meneror penghuni
rumah itu. Membuat mereka tak betah dan mereka
mengalami peristiwa-peristiwa aneh dan misterius,
bahkan mencelakakan. Banyak cerita seram yang
berakhir dengan perginya penghuni dari rumah itu.
Lalu datang penghuni baru, mengalami misteri yang
nyaris sama dan akhirnya tak kuat juga.
“Inilah rumah hantu itu. Disinilah dulu tinggalnya artis tempo dulu, tahun delapan puluhan bernama Rima Berlian itu ...” desis Arman yang menggigil. Ia
menggigil bukan hanya karena udara malam dingin
mengigit, juga karena perasaan gentar yang mulai
menguasai hatinya.
“Sebaiknya kamu batalkan maksud gilamu, Nick. Apa untungnya?”
Nick, sepupu Arman, baru sebulan tinggal di kota ini semenjak ia memutuskan untuk meneruskan SMA di kota ini dan meninggalkan kota kecilnya. Ia tinggal di rumah Om Heri, orang tua Arman. Nick cowok yang memiliki jiwa petualang dan menyukai pengalaman yang aneh-aneh. Dan hobinya yang sungguh aneh adalah memburu hantu. Sebuah hobi yang menurut Arman sangat
gila. Entah benar, entah bohong sekedar untuk
gagah-gagahan, tapi Nick mengaku memiliki banyak
pengalaman soal hantu. Ia bahkan mengoleksi beberapa benda keramat yang ia dapatkan di beberapa tempat angker. Arman pernah melihat keris dan batu berwarna hijau tua. Katanya benda-benda itu memiliki kekuatan magis.
“Ini tempat yang amat istimewa, Man. Aku sudah dapat merasakan auranya.” Nick tersenyum aneh. Mulutnya terlihat berkomat-kamit. Arman menduga, Nick tengah membaca doa-doa tertentu. Ritual memanggil arwah?
Tadi Nick sudah menjelaskan maksudnya sebelum
berangkat ke rumah tua ini. Ia ingin memanggil dan
menghadirkan arwah Rima Berlian. Ia ingin
berbincang-bincang dengan arwah artis masa lalu itu dengan media jalangkung!
Nick membuka pagar besi yang tak utuh lagi. Ia sudah menginjakkan kakinya di halaman berumput liar itu.
Malam gelap dan sepi. Amat sunyi. Bahkan suara
serangga pun tak terdengar.
“Tolong kamu ambil peralatanku, Man!”
Arman tersentak. Ia amat terkejut meski ucapan Nick sebenarnya cukup pelan. Arman menghela nafas berat. Ia merasa tak ada cara lagi untuk mencegah niat Nick. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, semoga semua cepat berlalu dan berjalan baik-baik saja. Bukankah doa
bisa mengalahkan hantu dan setan? Arman takut, tapi ia meyakini hal itu.
Arman segera berlari menuju mobil yang diparkir di tepi jalan, tak jauh dari rumah tua itu.
Pintu depan mobil terbuka dan Rani beranjak dari
belakang kemudi.
“Nick nggak bisa dicegah!”
Rani mengeluarkan keluhan putus asa.
“Buka bagasi belakang, Ran!”
Rani membuka bagasi mobil dan membantu kakaknya menurunkan beberapa buah benda. Sebuah keranjang bambu, beberapa batang bilah bambu, sebuah batok kelapa, sekian macam bunga dan kemenyan. Semua sudah Nick siapkan dari rumah.
“Sepupu kita itu memang gila. Mungkin ia seorang
maniak hantu!” Rani berkata kesal.
“Sudahlah. Kamu berdoa saja, semoga nggak ada
masalah. Kamu nggak usah ikut-ikutan, Ran. Tugasmu cuma mengemudikan mobil. Kamu hanya menunggu disini saja. Oke?”
Rani mengangguk dengan segan. Ia menguap dua kali.
“Jangan tidur dulu! Jangan melamun! Nanti kamu
kemasukan roh jahat!” hardik Arman.
Rani kembali ke belakang kemudi, menunggu. Sementara Arman segera membawa peralatan jalangkung itu dan menyerahkannya pada Nick yang sudah duduk bersila sambil terus berkomat-kamit. Mulutnya masih bergerak-gerak ketika ia mulai menata dan membentuk jalangkung. Sebuah buku tulis dan pensil ia letakkan di tanah, diterangi sebatang lilin yang menyala. Lima menit berlalu dalam kesunyian. Tiba-tiba api
lilin bergerak-gerak meski tak ada angin yang
berhembus.
“Mundur, Man!” bisik Nick. “Dia datang ...”
Arman melangkah mundur. Ia gemetaran. Ia tak ingin menerima resiko buruk yang tak diinginkan sehingga ia memilih mundur jauh dan mengawasi dari luar pagar.
“Jalangkung ... jalangsek ... datanglah ... datanglah
... disini ada pesta ...”
Api lilin bergerak makin liar meski tak ada angin.
Arman merasakan sekujur tubuhnya merinding. Dan ia terus berdoa, mohon keselamatan dari Tuhan.
“Aman, Man! Kamu boleh kemari dan memberikan salam!” teriak Nick tiba-tiba.
Arman ragu. Tapi karena dilihatnya Nick berdiri dan melambaikan tangan memberi isyarat untuk mendekat, keberanian Arman pun muncul kembali. Semua berjalan lancar atau justru gagal?
Dipenuhi oleh rasa penasaran, Arman mendekat. Ia
duduk berjongkok di belakang Nick yang kembali duduk bersila berhadapan dengan jalangkung. Nick menoleh ke arah Arman, tersenyum puas lalu menunjuk sebuah tulisan di buku tulis itu.
Hai! Senang berkenalan denganmu, Nick.
“Siapa yang menulis? Kamu sendiri?”
Nick tertawa kecil. Ia berkomat-kamit dan berbisik,
“Wahai jalangkung... benarkah kamu arwah Rima
Berlian, selebritis tahun delapan puluhan itu?”
Arman mengucak matanya kemudian melotot. Ia melihat batang bambu yang dirakit menjadi tangan itu bergerak. Pensil yang terikat di ujung batang bambu itu bergerak-gerak di atas kertas.
Waktu itu belum ada istilah selebritis. Aku Rima
Berlian. Artis, bintang film, calon penyanyi.
“Baiklah.” Nick terbatuk karena asap kemenyan. “Kapan
kamu meninggal dunia? Kenapa?”
Tulisan di buku tulis itu Produser gila! Ia menipuku. Ia ingkar! Aku kecewa
dan menggantung diri. 24 September 1990.
Arman tercekat menyaksikan tulisan itu. Hari ini 24 September. Hari ini tepat 15 tahun meninggalnya Rima Berlian. Arman memandang keheranan ke arah Nick, tapi Nick hanya tersenyum penuh kemenangan.
“Hehehe ...” Nick tertawa kecil. “Majalah-majalah tua di gudang kalian, Man. Koleksi ayahmu. Aku memang telah mengumpulkan bahan, membuat semacam riset dari majalah-majalah kuno milik ayahmu.”
Tahulah Arman kini. Ia maklum kenapa Nick ngotot
harus membuat jalangkung hari ini. Ternyata hari ini adalah hari yang sangat tepat untuk memanggil arwah Rima Berlian.
Siapa temanmu? Tulisan di kertas itu berhenti.
“Ini Arman, sepupuku. Lalu ada Rani, menunggu di
dalam mobil. Rani adiknya Arman. Dia cantik dan
bercita-cita jadi artis juga. Bulan depan ia ingin
mengikuti audisi untuk membintangi salah satu film
layar lebar. Hei, kamu senang mendengarnya, Rima?”
Nick berhenti sebentar, lalu, “Disamping sinetron,
sekarang film-film layar lebar mulai marak lagi.
Festival film juga diadakan lagi. Kamu senang?”Agak lama barulah pensil itu bergerak menulis.
Jelek! Latah! Film-film nggak bermutu!
Arman tertawa membaca tulisan itu. Hm, arwah yang ramah dan bersahabat, batinnya. Arman mulai tertarik. Dan ia sesekali ikut bertanya dan menerima jawaban lewat tulisan dari arwah Rima Berlian. Kadang cuma pertanyaan lucu dan asal-asalan, tapi arwah Rima
Berlian dengan sabar menjawab semuanya.
Satu jam hampir berlalu.
“Bolehkah aku minta tanda tanganmu, Rima? Di halaman kosong untuk kenang-kenangan?”
Tiba-tiba halaman buku tulis itu membalik sendiri
lalu pensil bergerak. Sebuah tanda tangan yang cukup jelas terbaca. Tanda tangan Rima Berlian.
“Well, rasanya cukup!” teriak Nick yang
memperlihatkan wajah amat puas. “Sekarang waktunya kamu pulang dan kembali ke alammu. Terima kasih atas kebaikan kamu menjumpai dan berbincang dengan kami. Semoga kamu damai dalam tidur panjangmu, Rima ...”
Bersamaan dengan itu tiba-tiba angin berhembus amat kencang. Api lilin padam. Tempat itu kembali gelap. Terdengar hela nafas lega.
“Selesai sudah. Semua berjalan lancar, Man. Nggak terbukti ketakutan dan kekhawatiranmu, kan?”
“Semudah ini?”
“Ya. Kenapa? Nggak semua arwah orang mati itu jahat. Rima bukan figur jahat. Ia baik dan nggak
macam-macam.
” Nick mulai mengemasi dan membongkar jalangkungnya. “Yang luar biasa adalah, kita juga
mendapatkan tanda tangan Rima. Otentik! Asli! Kamu tahu, Man? Usaha kita malam ini bisa bikin heboh kalau kita publikasikan. Skandal kematian Rima Berlian, artis tempo dulu. Bukankah ini amat menarik untuk dikupas kembali?”
“Ah, siapa yang mau percaya pada tulisan jelek di
buku tulis, Nick! Kamu nggak usah bermimpi. Yang
penting malam ini urusan kita selesai dan kamu puas. Aku nggak mau lagi terlibat urusan hantu dan arwah seperti ini lagi.”
Keduanya lantas berjalan ke arah mobil. Mungkin Rani sudah ketiduran. Mungkin ia akan marah-marah karena telah satu jam menunggu.
Tapi ternyata Rani tidak tidur. Ia tengah
menggerak-gerakkan kepalanya di belakang setir. Ia tengah bernyanyi-nyanyi kecil.
Usai menyimpan peralatan di bagasi, Nick dan Arman masuk ke dalam mobil.
“Pulang, Ran! Urusan sudah selesai. Sori, ya. Kamu
agak lama nunggunya ...” kata Nick.
Rani menghentikan lagunya. Ia menoleh sambil
menyeringai aneh.
“Jangan marah, Ran. Besok kita akan melakukan
petualangan baru yang menyenangkan. Besok hari
Minggu, kan? Kita akan pergi ke pantai dan naik
perahu ke Pulau Tiga.”
Arman menyodok perut Nick.
“Lupakan saja, Nick! Aku nggak mau! Kamu jalan aja sendiri! Pulau Tiga? Maksudmu Pulau Tiga Hantu, kan?” Nick tertawa terbahak-bahak.
Rani ikut tertawa mengikik, nadanya aneh. Kemudian Rani kembali bernyanyi, dengan suara lebih keras. Suaranya parau dan sumbang.
“Hentikan nyanyianmu, Ran!” tegur Arman sambil
menutup telinganya. “Hati-hati dengan nyanyianmu,
Ran. Dalam audisi nanti siapa tahu kamu disuruh
menyanyi juga.”
Rani seperti tak mendengar teguran kakaknya. Ia terus menyanyi dengan suara yang makin buruk.
“Sudahlah, Ran. Boleh jadi kamu memang pandai
berakting, tapi nyanyianmu memang sangat jelek!” Nick ikut mencela sambil menutup telinganya pula. “Ayolah, kita harus pulang sekarang juga.”
“Siapa bilang aku akan berakting lagi?” Tiba-tiba
Rani menoleh. “Aku memang ingin menyudahi karirku di dunia akting. Film buruk, iklim buruk! Selera berubah! Dunia film layar lebar sudah kiamat! Aku harus mengubah haluan. Aku ingin jadi penyanyi! Aku harus jadi penyanyi! Harus!”
“Rani?!” Arman membentak. Ketika Armar menoleh ke arah Nick, ia melihat wajah sepupunya itu telah pucat pasi.
“Anak-anak tolol!” Rani membentak amat keras. “Tidak bisakah kalian memanggilku dengan benar? Namaku Rima, bukan Rani! Aku Rima Berlian!”
Tiba-tiba mobil dihidupkan. Dan sebelum Arman dan Nick menyadari semuanya dan berbuat sesuatu, mobil itu telah melesat liar dengan kecepatan luar biasa meninggalkan tempat itu.
Read More … Hantu Artis Masa Lalu