Tuhan itu Kejam....
Aku pijakkan kakiku di atas pulau Sumatera bagian barat ketika pesawatku mendarat di airport, Tabing,Sumatera barat. Berangkat dari benua Amerika utara dengan rombongan para tim medis yang siap meggapai korban-korban yang mulai nampak bergelimpangan dimana-mana. Jauh sebelum pesawat NGO terbesar di perancis ini mendarat di kota padang, nampak degup hatiku semakin tak menentu. Nampak dari atas pesawat kota itu bagaikan kota mati yang baru dimusnahkan oleh ribuan bom atom yang dijatuhkan. Semua keadaan nampak tak seperti sebuah kota hunian. Hanya tiga kata yang bisa aku ucapkan dalam hati tentang kota ini. Merata DenganTanah. ....Medicine Sans Frontier, sebuah NGO yang bermarkas di Perancis ini, adalah tempat sandaranku saat ini dan juga yang membawa ku kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun hidup di benua Amerika demi segenggam ilmu yang bisa ku bawa pulang ke tanah air. Kini aku kembali, walau hanya untuk sebuah tugas kerja, dengan hanya sedikit ilmu di otakku. Berbekalkan sedikit pengetahuan tentang psikologi aku kini berada di tengah-tengah ratusan mayat yang bergelimpangan. Ratusan anak-anak orang tua, wanita-wanita nampak begitu trauma dan linglung. Wajah mereka penuh iba. Penuh penderitaan. Bahkan janin-janin yang sedang merangkul manis di dalam rahim ikut terancam akibat patahan lempengan bumi di dasar laut dengan kedalaman 87 km yang mengakibatkan gempa dengan kekuatan 7.6 SR. Jeritan-jeritan manusia yang tertimbun reruntuhan, kini masuk dan menggetarkan seluruh gendang telingaku.
“Awwwwww..... ......... ......... ......... .......”kakiku terhantuk dan sesuatu menghalangi gerak langkahku. Kulihat sepasang kaki menjulur sambil kuangkat sedikit bola mataku merunut dari ujung kaki tersebut hingga sampai pada tubuh seorang ibu yang sedang memeluk anaknya. Tapi kedua nyawanya kini telah meregang akibat tertimpa bangunan-bagunan rumah yang hancur.
Ah.......aku tak percaya semua ini, persis seperti kota athena yang sudah di luluh lantahkan atau persis seperti kota yang sudah di bantai habis-habisan oleh tentara kuda trojan. Tak ada lagi bangunan yang kokoh berdiri sampai 5 meter. Yang ada hanya bagunan-bangunan yang telah merata dengan tanah. Setiap kali aku langkahkan kakiku terdegar jeritan-jeritan baru anak-anak yang terhimpit reruntuhan sekolah mereka sendiri. Tak ada yang menolong mereka, karena tak ada yang mampu mengangkat puing-puing besar yang memerlukan alat berat untuk menghilangkannya. Lututku mulai terasa goyang, hampir tak mampu lagi berjalan diantara mayat-mayat yang bergelimpangan di setiap ujung kakiku. Lama sudah aku tinggalkan kota Padang yang menjadi asal-usulku sebelum aku tersesat di benua amerika, kini tak ada lagi kenangan-kenangan masa lalu yang pernah terukir di negeri jam gadang ini.
“toloooonggggggggggg gggggggggg. ......... .”, aku kenal suaranya. Iya...aku kenal.
“Igummmmmmmmmmmmmmmm mmm...... .....tolongggg”, aku balikan seketika badanku dengan seketika dan tak terasa kini aku seperti disambar petir secepat aku membalikkan badanku secepat itu pula inest menghamburkan badanya ke arah ku yang sudah tak kuat lagi menahan gravitasi tubuhnya sendiri. Dengan seketika aku langsung menopangnya agar ia tak terjatuh dan terhentak puing-puing yang semakin menggunduk.
“Mami....gummm. ......mami. ......”, suaranya sudah mulai hilang dan parau.
“Tenang nest...tenang. .. kenapa? dimana maminya?”, tanyaku sambil mencari-cari dimana seseorang yang disebut oleh nya mami.
“Mami Inesst...... .”, suaranya terdengar menggaungkan langit yang nampak suram diatas sana seakan hendak berbela sungkawa atas mayat-mayat yang tak terhitung jumlahnya. Terdengar suranya sudah mulai habis dan kini ia tak sanggup lagi meneteskan air mata yang sudah kering dan tumpah sedari tadi membasahi kota jam gadang ini.
Mataku semakin gencar mencar-cari manusia yang di maksud mami oleh inest diantara mayat-mayat yang bergelimpangan dihadapanku. Apa mungkin di antara puing-puing itu?, apa mungkin di atas rumah yang sudah roboh itu ?, apa mungkin diantara manusia-manusia yang tengah menjerit-jerit itu ?. Aku hampir tak kuat lagi menopang tubuh inesst yang semakin ditarik gaya gravitasi bumi.
Peralatan-peralatan medisku masih tetap menggantung di tangan kiriku sambil menahan tubuh inest ditangan kananku. Aku tak kuat rasanya melihat keadaan ini. Nyawa-nyawa manusia seakan begitu murah karena hanya berakhir diantara bongkahan-bongkahan semen yang dulu dibangun oleh diri mereka sendiri tapi kini menghimpitnya. Kaki ku kini terasa ditarik tarik oleh sebuah jari yang mencoba menggerayangi dan menggenggam pergelangan kakiku, aku alihkan mataku ke arah pergelanagan kakiku.
“Astagafirullah. ......... ya Tuhan......”, begitu mataku sampai di pergelangan kakiku, sewaktu itu pula jari-jari yang mencoba memegang kakiku pertanda meminta pertolongan mulai melemah dan hingga akhirnya tak bergerak sama sekali. Jari-jemari seorang anak kecil yang tubuhnya sudah menyatu dengan bangunan sekolahnya yang sudah roboh. Hatiku semakin remuk lebih dari puing-puing ini, genggaman tangan anak yang tertimpa puing-puing sekolahnya itu tak sempat aku balas dengan genggamanku, belum lagi aku sempat membuka kotak obat ku. Kini ia telah pergi untuk selamanya.
Aku mengusap air mataku yang sedari tadi mulai menetes tak terasa membasahi baju seragam kebanggaan NGO yang aku idam-idamkan sewaktu masih kuliah s1 dulu. Kini dari kejauhan aku nampak sesosok wanita tinggi semampai dan parasnya yang cantik, 5.5 out of 10.Lagi-lagi aku mengenalinya.
“Uni Selviiiiiiiii. ......... ......... Onde Maoy....baa kabaa uni ?”(apa kabar) tanya ku langsung ngga pake basa basi dan sekaligus kaget uni Selvi ada di kota padang.
“Iya uni baru sampai 5 jam yang lalu langsung dari Pulau Texel, Belanda, untuk meneliti lempengan bumi yang patah di laut yang persis berada di daerah Pariaman”, sambung Uni Selvi yang baru aja merampungkan studinya di bidang fisika kelautan persis 2 hari sebelum sang gempa menjilat Sumatera barat.
Tiba-tiba kami terperanjat oleh suara yang sangat familiar sekali ditelinga kami dan menjerit dengan nada kesedihan yang ditemani tetesan air mata yang kini nampak telah menggenangi kelopak matanya.
“Ya Allah........apa sebenarnya yang terjadi sama kita semua yah ?”, suara Mela yang kini berada di lapangan sekaligus meliput berita-berita tentang kejadian gempa yang disiarkan langsung untuk radioppidunia.
“Entah lah Mel.....aku sudah tak bisa lagi berfikir yang berat-berat. ...semua tempat-tempat dulu aku bermain, tempat aku berlari-lari, berkejar-kejaran,bermain ayunan.....kini semuanya telah hilang dan musnah....tempat itu sudah tiada lagi, yang ada hanya kenangan-kenangan masa kecil yang masih tetap terukir di dalam benak”, jawab Inest yang nampak masih tak sanggup untuk menggangkat kepala sepenuhnya dan masih bersandar di pundakku.
“Apa semua ini ada hubunganya dengan ulah kita ? “,tanya Mela yang sudut matanya juga telah membengkak sambil menyeka air mata yang sedikit memburamkan pandangan matanya.
“Iya... alam ini jika dilihat secara scientific mempunya batasan-batasan dan standar...jika ia terus di eksploitasi oleh manusia, maka secara natural, standar alam untuk bekerja itu bekerja dengan tetap menjamin keselamatan manusia sudah semakin menurun dan mungkin menjadi tidak teratur yang akan membahayakan manusia itu sendiri”, jelas uni Selvi yang nampak masih segar dengan rumus-rumus fisika kelautanya setelah beberapa tahun bertapa di pulau texel, Belanda.
“Tapi, bukankah bumi ini diciptakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia ?”, tanyaku pada uni Selvi.
“Betul...bahwa bumi yang telah diciptakan tuhan ini hanya untuk manusia akan tetapi bukan berarti manusia itu bebas untuk mengeksploitasi sesuai isi perutnya, karena di muka bumi ini penghuninya tidak hanya manusia tetapi juga ada tumbuhan dan binatang pada prinsipnya bahwa manusia boleh menggunakan apapun dalam dunia ini asalkan sesuai kadarnya”, penjelasan uni Selvi benar-benar menunjukan seorang gadis yang ke ibu-ibuan.
“Kadarnya yang seperti apa ?”, tanya ku kembali kepada uni Selvi.
“Kadarnya adalah kesederhanaan yang tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan. Dalam kata lain manusia seharusnya menggunakan isi bumi untuk seperlunya bukan semaunya”, jawab uni Selvi yang benar-benar telah teruji tidak hanya ahli di bidang fisika kelautan tetapi juga dibidang filsafat science.
Ah.... kembali aku tak kuasa mendengar jeritan-jeritan anak-anak sekolah yang tertimpa tempat mereka belajar dan masih meminta tolong agar diselamatkan. Jeritan anak-anak itu membuat semua aliran darahku seolah terhenti dan aorta ku tak mampu lagi memompa darah ke seluruh tubuhku. Kini jeritan-jeritan anak itu masuk ke setiap lipatan-lipata otakku hingga masuk menerobos ke lapisan-lapisan protein DNA ku.
“Uni Selvi dan Mela aku mau tanya ”, sambil terbayang-bayang wajah anak-anak sekolah yang begitu lugunya untuk menahan himpitan tembok yang nampak semakin bengis tak mau berdiri dan hengkang.
“Iya.....”, mereka berdua mempersilahkan.
“Kalau tuhan itu memang ada... dan katanya tuhan itu maha pengasih dan maha penyayang, tapi kenapa Dia menimpakan semua ini pada manusia ? Kenapa tuhan begitu Kejam?memusnahka ratusan nyawa manusia hanya dalam hitungan menit tak ada yang lebih berharga di dunia ini selain nyawa dan nyawa”,tubuhku mulai terasa gontai dan tak sanggup lagi menahan lengkingan suara anak-anak yang masih tertimpa puing-puing sekolah mereka.
“Tuhan memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hingga ia menciptaka segalanya untuk manusia...apapun dimuka bumi ini adalah untuk manusia itu menunjukan bahwa tuhan benar-benar sayang dengan ciptaaNya tapi ingat !!! dalam alam ini ada sebuah hukum yang mengatur cara kerja alam termasuk bumi dalam bahasa fisika nya ini lah yang disebut dengan Natural.Seperti halnya hukum, ia selalu mempunyai dua sisi: Aksi dan Konsekuesi”, jelas uni Selvi yang agak sedikit menggantung. Otakku agak sulit mencernanya dasar otakku memang bebal semenjak dibangku SD dulu. Juga tidak ketinggalan mela yang mengangguk-ngangguk nampak seperti orang yang paham, gayanya selangit.
“Maksud uni apa dengan aksi dan konsekuensi ?”, tanya Inest yang masih mencintai jurusan perikanan disebabkan karena masa kecil yang sangat akrab dengan laut persis berada di belakang rumah.
“Seperti halnya hukum, bahwa ia harus ditaati.Jika tidak, maka ia akan memberikan konsekuensi yang menyebabkan kehidupan dan tatanan sosial menjadi tidak harmoni.Begitu juga dengan hukum alam, jika ia tidak dijaga dengan baik seperti dieskplotasi habis-habisan, maka isi kekayaan alam itu pun akan berkurang yang menyebabkan kemampuan bumi untuk bekerja itu berkurang. Oleh karena itu dengan sendiri nya kinerja bumi tidak lagi menjadi harmoni sebagai dampaknya penghuni bumi itu sendirilah yang akan menanggung akibat perbuatanyanya terhadap bumi So, bukan tuhan yang kejam tapi manusia itu sendirilah yang melanggar hukum-hukum alam yang sudah ditetapkan agar bumi ini dapat berjalan dengan harmoni”, penjelasan uni Selvi benar-benar logis dan religi.
“Jadi seharusnya bagaimana agar kita tidak melanggar natural (Hukum Alam) ?”,tanya ku yang semakin ingin tahu dan sekaligus ingin tahu segala pengetahuan yang ada di balik kepala wanita yang tinggi semampai ini.
“Simple saja....pelajari dulu tentang alam (Hukum Alam) sebelum manusia menggunakan alam dan jangan lupa !!!tahan nafsumu untuk tidak berlebihan dengan alam”, jawab uni Selvi ringkas dan padat.
Kini jeritan-jeritan orang yang terkubur dan terhimpit di hotel ambacang yang 3 lantai pertamanya ambalas masuk ke tanah mulai terdegar sayup-sayup ditiup angin malam hingga sampai ke lubang telinga kami. Aku berusaha tak mendengar karena tak mampu menahan bayangan diotakku akan manusia-manusia yang tenggorokannya terhimpit puluhan kilo puing-puing bangunan.
“Lalu bagaimana dengan 60 siswa dan pegajarnya yang semuanya terhimpit oleh bangunan tempat mereka belajar dan juga bagaimana dengan hotel yang sedang dihuni 200 tamu tiba-tiba lenyap masuk ke dalam tanah?sementara para bangsat-bangsat kelas atas yang mengatas namakan orang-orang miskin demi kepuasan nafsunya sendiri,korupsi dan kolusi mereka tak pernah tersentuh dengan berbagai gempa dan becana ?lalu dimana letak keadilan Tuhan ?kalau begitu aku tidak percaya bahwa Tuhan itu adil”, nada aku agak sedikit emosional.
“Kita bukan Tuhan kita hanya ciptaan Tuhan maka kita tidak akan pernah tahu rahasia tuhan...”, kalimat-kalimatnya menyetuh mozaik-mozaik kehidupanku kehidupan dengan nilai-nilai sufistik.
“Maksudnya uni?”, tanya mela yang nampak tidak mengerti setetes pun apa yang keluar dari pita suara uni Selvi.
“Terkadang kita terlalu memandang bahwa kematian adalah suatu hal yang berkonotasi negatif...karena kita selalu memandang kematian adalah sebuah akhir dari kehidupan dunia yang mana kita terlalub posesif untuk memiliki segalanya. Maka, kematian dilihat sebagai sebuah perpisahan dengan segala kenikmatan yang dipinjamkan oleh tuhan itu “, uni selvi mencoba menghela nafas.
“Terkadang kematian mungkin hal yang terbaik bagi manusia, karena bisa saja jika tuhan menambah panjang umurnya maka manusia itu akan semakin banyak membuat kerusakan di muka bumi ini atau kematian bisa saja sebagai cara tuhan agar manusia itu tidak terjerumus kepada hal-hal yang penuh dosa atau mungkin kematian adalah salah satu refleksi sifat kasih sayang tuhan yang tidak menginginkan hambanya terlalu banyak bergelimang dalam dosa seperti halnya para koruptor-koruptor bukankah kehidupan akhir nan kekal lebih baik daripada kehidupan yang dunia yang hanya bersifat sementara?”, pertanyaanya membuatku tersentak akan masa lalu ku yang suram.
“Tuhan memang memberikan mereka(Para Pembuat Dosa) umur yang panjang dan kesenangan yang melimpah ruah, tapi jangan lupa !!! segala yang mereka punyai akan dimintai pertanggung jawabanya nanti.Bagaimana mereka mendapatkan dan menggunakan kesenangan itu ? Apakah dengan cara yang baik atau tidak?jika tidak maka mereka akan bermain dalam ayunan ke nestapaan untuk selamanya nanti”, uni Selvi nampak mulai lelah setelah memberikan wejangan-wejangannya yang masih beraroma pulau texel.
“Tuhan memang adil.....apa yang dimata kita nista tapi mungkin saja hal itu adalah surga dimataNya, tapi begitu juga sebaliknya apa yang dimata kita surga mungkin saja itu neraka di mataNya”, mela yang dengan tiba-tiba tak disangka kini IQ nya melejit mampu untuk menyimpulkan obrolan-obrolan kelas tinggi para manusia setengah dewa.
Hari mulai gelap. Gerimis rintik-rintik mulai turun membasahi setiap puing-puing dan tenda-tenda bantuan. Langit berubah menjadi kelam dan menangis deras menurunkan air matanya menyirami ratusan-ratusan mayat yang masih tergeletak di ranah minang. Aku masih membopong Inest, yang masih mencari mami-nya, untuk masuk ke tenda posko bantuan yang sudah dipenuhi warga-warga yang nampak terkulai dan terluka. Uni Selvi kembali ke pos-nya untuk melanjutkan penelitiannya. Mela masih tetap giat mencari berita untuk dapat disampaikan langsung kepada para sobatradioppidunia.
Aku masih tetap termenung di bawah cahaya lampu tempel yang sesekali ditiup agin malam. Sejenak aku penjamkan mata yang tetap tertesi hujan yang menemani memoriku kembali terbayang beberapa tahun yang silam ketika aku masih kecil dulu.Nenekku menuntun aku berjalan menyusuri pantai pasir putih sambil mendongengkan hikayat-hikayat nenek moyangku seorang pencari ikan. Karena kami orang laut yang membangun sebuah rumah panggung di tepi pantai tempat kami mencari hidup. Dan kini rumah itu telah lenyap, runtuh, luluh-lantah dan merata dengan tanah. Jeritan-jeritan tolong masih tetap terdengar dari kejauhan dari mereka yang tertimpa puing-puing besar. Suara-suara mereka mulai pelan perlahanhingga kemudian hilang seiring dengan berlalunya malam.
Sumber : http://cerpen.net/cerpen-dewasa/tuhan-itu-kejam.html
0 Response to "Tuhan itu Kejam...."
Posting Komentar